Senin, Desember 08, 2008

Komisi Anti Korupsi

.
Komisi Anti Korupsi
Oleh Teten Masduki

KISAH sukses komisi independen antikorupsi di sejumlah negara seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong memberi inspirasi ke banyak negara untuk meniru lembaga serupa. National Counter Corruption Commission di Thailand yang baru dibentuk dua tahun lalu di bawah konstitusi mereka yang baru, mulai menunjukkan pengaruhnya dengan menyeret Perdana Menteri Thaksin ke pengadilan. Sementara di Tanah Air, Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) yang diusulkan pemerintah kini tengah dibahas di DPR, yang semestinya sudah rampung Agustus 2001.

Pembentukan komisi antikorupsi umumnya dilatarbelakangi oleh keadaan korupsi yang sudah demikian kompleks dan sistematik, merasuk ke semua sektor tak terkecuali lembaga penegakan hukum sehingga korupsi menjadi imun terhadap penegakan hukum konvensional. Indonesia pun menghadapi persoalan serupa, di mana aparat pengawas dan penegak hukum boleh dibilang telah menjadi bagian dari kleptokrasi itu sendiri. Sedikit sekali kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan dan walaupun ada segelintir kasus yang diadili hasilnya sangat mengecewakan masyarakat karena dakwaan jaksanya kabur, vonis hakimnya ringan, atau malah dibebaskan.

Namun, sebagian besar masyarakat tampak merasa pesimis terhadap rencana pembentukan Komisi Antikorupsi tersebut, karena melihat kegagalan lembaga-lembaga baru yang banyak dibentuk sejak jatuhnya Presiden Soeharto empat tahun lalu. Di tengah hilangnya public trust terhadap penyelenggara negara saat ini, memang sukar meyakinkan masyarakat bahwa reformasi kelembagaan hukum antikorupsi adalah salah satu jalan alternatif yang harus ditempuh untuk keluar dari belenggu kleptokrasi meskipun keadaannya sulit.

Sementara ada pikiran lain kenapa tidak dibenahi saja lembaga penegak hukum yang ada daripada menambah koleksi institusi baru yang akan membebani anggaran. Namun, harus diakui secara jujur membersihkan lembaga peradilan dari aparat hukum yang busuk bukan pekerjaan mudah. Mengingat hampir semuanya harus dipensiunkan dan siapa yang punya nyali untuk melakukan itu, karena yang pasti mereka akan melakukan resistensi seperti dialami Presiden Abdurrahman Wahid ketika mau membersihkan Bank Indonesia, atau saat membubarkan Departemen Sosial yang dianggap tidak perlu.

Presiden Megawati Soekarnoputri malah mundur dengan mengangkat Jaksa Agung dari internal kejaksaan sendiri, yang di mata publik lembaga tersebut tidak bisa diharapkan lagi. Karenanya, membentuk lembaga baru merupakan suatu pilihan yang paling mudah untuk memulai reformasi penegakan hukum.

Kendati sulit memastikan sejauh mana keberhasilan komisi antikorupsi itu nantinya, namun belajar dari kisah sukses komisi antikorupsi di negara lain, hal itu akan banyak ditentukan oleh seberapa besar kewenangan yang dimiliki komisi, kemandirian politik dan operasional dalam menjalankan kewenangannya, dan sistem integritas lembaga tersebut. Yang paling penting juga adalah sejauh mana dukungan politik dari atas, dan partisipasi masyarakat dalam komisi itu.

Kewenangan dan independensi

Konsep komisi antikorupsi yang diusulkan oleh pemerintah memiliki tiga fungsi, yaitu penyidikan, penuntutan, dan pengawasan terhadap lembaga kepolisian dan kejaksaan. Dalam hal fungsi penyidikan dan penuntutan relatif sama dengan fungsi kejaksaan sekarang ini, tetapi pendekatan antikorupsi komisi tidak hanya pendekatan represif juga dimungkinkan melakukan pendekatan preventif. Pendekatan antikorupsi yang komprehensif memang sudah saatnya diterapkan mengingat kompleksitas masalah korupsi, walaupun mungkin pada awal-awal komisi beroperasi sangat diharapkan oleh masyarakat pada fungsi represifnya, untuk menyubstitusi kejaksaan dan kepolisian yang tidak fungsional dalam menegakkan hukum. Fungsi pendidikan masyarakat oleh ICAC di Hongkong memegang peranan penting dalam mengubah sistem nilai dan persepsi masyarakat untuk mendukung moral antikorupsi, tidak menolerir praktik korupsi sekecil apa pun.

Dalam menjalankan fungsi penyidikan dan penuntutan, komisi diberi kewenangan sangat luar biasa. Yaitu dikecualikan dari berbagai prosedur dan aturan yang mempersulit penyidikan kasus korupsi sebagaimana selama ini dialami oleh kejaksaan dan kepolisian. Antara lain penerapan asas pembuktian terbalik (burden of proof), penyadapan pembekuan aset, dan penangkapan tanpa harus menunggu putusan pengadilan serta pengecualian dari undang-undang kerahasiaan perbankan.

Penerapan asas pembuktian terbalik selama proses penyidikan merupakan salah satu faktor keberhasilan pemberantasan korupsi di Hongkong. Hasil riset Asian Law Association (ALA) juga menunjukkan hal yang sama di Malaysia dalam 10 tahun terakhir. Dalam asas pembuktian terbalik pembebanan pembuktian pada tersangka atau terdakwa, bukan kepada penuntut, sehingga setidaknya dapat mengurangi peluang terjadinya kolusi antara jaksa atau hakim dengan koruptor untuk lolos dari jerat pengadilan korupsi, seperti sekarang ini sering terjadi. Apalagi komisi ini tidak diberi hak diskresi untuk menghentikan penyidikan, yang selama ini dijadikan peluang untuk berkolusi dengan koruptor.

Hal ini barangkali sejalan dengan prinsip bahwa hukum adalah kepastian, harus hitam-putih, bukan suatu kebijakan yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan politik, misalnya. Hanya sayangnya penerapan asas pembuktian terbalik di dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang baru saja dituntaskan DPR, hanya diadopsi dalam persidangan di pengadilan, sehingga tidak akan menyelesaikan persoalan penanganan kasus korupsi di tingkat penyidikan dan penuntutan.

Yang menarik, komisi ini rupanya tidak didesain untuk memonopoli penanganan semua kasus korupsi. Dengan kata lain, kehadiran komisi tidak mematikan atau menggantikan lembaga kepolisian atau kejaksaan, hanya melengkapi lembaga yang telah ada. Pilihan ini cukup tepat untuk menghindari lembaga ini menjadi sebuah institusi yang sangat besar dan rawan korupsi, tetapi dalam fungsinya untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga kejaksaan dan kepolisian dapat menempatkan komisi ini berada di atas (superbody) kedua lembaga tersebut.
Bahkan fungsi pengawasannya tidak hanya sekadar menyuvervisi secara konvensional, tetapi diberikan kewenangan luar biasa untuk mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani kejaksaan atau kepolisian. Ini terjadi manakala Komisi secara sepihak menganggap kedua lembaga tersebut inability atau incapability dalam menangani kasus tersebut, sehingga fungsi pengawasnya bisa sangat berpengaruh. Karena posisi komisi berada di atas kejaksaan dan kepolisian, sehingga tidak beralasan kalau dikuatirkan oleh sebagian pihak yang tidak menyetujui pembentukan Komisi, dianggap akan terjadi perebutan kasus atau tumpang tindih dalam penanganan perkara.

Kendati kewenangan yang dimiliki komisi tersebut telah cukup memenuhi prakondisi bagi upaya untuk memudahkan menyeret koruptor ke pengadilan, dalam praktiknya akan sangat tergantung pada siapa yang memimpin dan menjalankan komisi tersebut. Sampai di sini proses pengangkatan komisioner dan personalia komisi secara selektif menjadi sangat penting, sehingga yang terpilih hanya orang-orang yang betul-betul memiliki track record yang bersih, nonpartisan, memiliki keberanian, dan profesional.

Yang paling dikuatirkan sekarang pengangkatan personalia komisi ini menjadi ajang politik dagang sapi dari partai-partai politik berpengaruh di DPR untuk menempatkan orang-orang mereka di sana, seperti lazimnya begitu sekarang ini, yang bisa mengabaikan prasyarat ideal dan berbahaya bila kemudian komisi menjadi alat politik kelompok tertentu mengingat kewenangan yang dimilikinya sangat luar biasa. Kalau jumlah komisioner komisi yang dipilih itu satu atau dua orang mungkin politik dagang sapi itu bisa dihindari, sementara personalia untuk menjalankan komisi tersebut komisioner yang terpilih dapat merekrut dari kalangan profesional. Sebab komisi ini dalam bekerjanya harus kompeten dan professional, selain independen.

Kemerdekaan operasional dan politik komisi terhadap pihak yang mengangkatnya (pemerintah dan DPR) bukan hal yang mudah diwujudkan. Kemandirian komisi sedikitnya ditentukan oleh tiga hal, kecukupan dana operasional, sistem pertanggungjawaban, dan sistem pemberhentian komisioner.

Pemerintah dan DPR dengan mudah dapat mematikan komisi ini dengan cara mencekik anggarannya atau memecat komisionernya manakala berseberangan dengan kepentingan yang mengangkatnya. Karena perlu ada jaminan bahwa pengajuan anggaran operasi Komisi akan dipenuhi DPR dan Pemerintah dan alasan-alasan pemecatan komisioner harus limitatif agar tidak memberikan lubang bagi masuknya intervensi pihak pengangkatnya. Yang menarik di dalam konsep Komisi ini dikembangkan alternatif pendanaan dengan mengutif semacam fee sebesar 10 persen dari harta negara yang berhasil diselamatkan Komisi dari tangan koruptor. Meskipun cara ini lazim diterapkan di negara lain, termasuk di sini misalnya dalam bidang pajak dan kepabeanan, banyak dikritik masyarakat karena bisa tergelincir menjadi lembaga pemburu hadiah layaknya detektif swasta dalam film-film Hollywood.

Uji publik

Hal menarik lainnya disebutkan bentuk pertanggungjawaban komisi antikorupsi ini dilakukan kepada publik bukan kepada DPR, Komisi masih harus memberikan laporan kinerja kepada DPR seperti pertanggungjawaban yang lazim diterapkan oleh lembaga Ombudsman di banyak negara. Model public accountability demikian memang mulai dikembangkan karena konsep representasi masyarakat di dalam DPR mulai dikritisi mengingat faktanya parpol atau DPR tidak sejalan dengan kepentingan rakyat banyak. Selain itu, model demikian dianggap cocok untuk menghindari intervensi DPR terhadap kemandirian Komisi, meskipun dari kepentingan untuk mengontrol kinerja Komisi masih belum jelas benar mekanismenya.
Sementara bentuk pertanggungjawaban kepada publik belum secara jelas sejauh mana hak-hak masyarakat untuk membina akuntabilitas Komisi dan dalam bentuk semacam apa. Barangkali akuntabilitas publik itu dapat diejawantahkan dalam bentuk penjaminan hak kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi sejauh tidak dilarang dalam konteks peradilan, menyediakan laporan kinerja bagi masyarakat luas, dan hak melakukan uji publik terhadap kandidat-kandidat anggota komisi yang akan dipilih oleh DPR.

Pengawasan publik juga sangat penting untuk memastikan apakah setiap kasus korupsi yang masuk ke Komisi akan ditangani secara jujur dtau tidak, agar fenomena pembekuan kasus korupsi di kepolisian atau kejaksaan seperti sekarang terjadi tidak terulang lagi, meskipun dalam konsep Komisi ini hak diskresi untuk menghentikan perkara sudah dihapuskan. Keberhasilan ICAC di Hongkong untuk menjamin hal itu selain terletak pada sistem integritas seluruh pengelolaan organisasi komisi, juga pada pelibatan representasi masyarakat sispil di komite pemantau (advisory body).
Setiap kasus korupsi yang tidak akan ditangani, atau dilimpahkan ke pengadilan harus mendapatkan pendapat dari komite pemantau, yang diangkat oleh komisioner terpilih dari kalangan masyarakat yang punya reputasi baik di mata publik. Cara demikian sangat cocok diterapkan di Tanah Air di tengah public trust yang sangat lemah terhadap penyelenggaraan negara. Sayangnya rancangan undang-undang PTPK belum mengakomodir adanya sistem pengawasan masyarakat, meskipun hal tersebut telah diusulkan oleh kalangan ornop di dalam persiapan rancangan undang-undang tersebut.

Tentu saja keberhasilan pendekatan represif dalam pemberantasan korupsi bukan semata-mata ditentukan oleh faktor instrumen hukumnya, tetapi kembali oleh sejauh mana para pemimpin bangsa ini punya kerelaan politik untuk berhenti korupsi, taat asas, sistem atau hukum. Sebab sesempurnanya suatu produk perundang-undangan tidaklah banyak gunanya kalau tidak ada ketulusan untuk menaatinya. Pemberantasan korupsi di Singapura relatif berhasil dan hal itu lebih banyak ditentukan oleh kepemimpinan Lee Kuan Yew yang bertekad keras untuk memajukan negerinya, meskipun sistem pemerintahannya otoriter yang di banyak negara justru menjadi wahana korupsi yang subur.

Sampai sekarang baik Presiden Megawati, Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua MA Bagir Manan, maupun tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh belum memberikan dukungan politik nyata terhadap pembentukan komisi tersebut. Kalau mau jujur memang ide reformasi kelembagaan hukum ini, termasuk usulan pembentukan KPKPN atau Komisi Pencucian Uang (money laundering) sesungguhnya bukan inisiatif dari pemerintah atau DPR atas kebutuhan untuk pemberantasan korupsi tetapi awalnya merupakan agenda IMF pada saat krisis ekonomi terjadi, yang barangkali ini hanya untuk memenuhi sebagian prasyarat bantuan dana.

Jadi sangat wajar di tengah political society yang korup sekarang ini muncul pesimisme masyarakat yang sangat besar terhadap prospek pembentukan Komisi Antikorupsi ini, meskipun secara konseptual rancangan undang-undang komisi tersebut yang diusulkan oleh Pemerintah sudah cukup menakutkan koruptor. Apalagi sekarang mulai banyak pelobi di DPR dan upaya pembentukan opini umum yang berusaha menafikan rencana pembentukan komisi ini. Koruptor dan pembelanya jelas tidak suka dengan gagasan pembentukan komisi ini, sebagaimana polisi dan jaksa umumnya yang merasa terancam sumber pendapatannya.
* Teten Masduki, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW).